Pasanganmu Lebih Mendengar Kata Orang Tuanya Daripada Kata Kamu

Lo pernah gak sih ada di posisi dimana lo udah kasih pendapat dengan segala logika dan cinta, tapi pasangan lo tetep lebih percaya dan nurut sama omongan orang tuanya? Rasanya tuh kayak lo invisible. Kayak “Ngapain juga gue capek mikir, kalau ujung-ujungnya lo nurut nyokap?”
Yes, realita pasangan lebih dengar orang tua itu gak cuma frustrating, tapi bisa bikin hubungan lo goyah. Bukan karena orang tuanya jahat, tapi karena lo ngerasa gak dianggep, gak diprioritaskan, dan gak dilihat sebagai partner sejajar.
Nah, lo gak sendirian. Dan artikel ini bakal kupas tuntas kenapa fenomena ini terjadi dan gimana lo bisa tetap waras, tetap cinta, tapi juga tetap punya kendali atas diri lo sendiri.
1. Kenapa Pasangan Lebih Nurut ke Orang Tuanya?
Sebelum lo ngegas, yuk tarik napas dan coba pahami. Ada beberapa alasan kenapa pasangan nurut orang tua:
- Hubungan emosional mereka sangat dekat
- Mereka tumbuh dalam pola asuh otoriter
- Takut bikin orang tua kecewa
- Gak sadar kalau mereka meminggirkan lo
- Ngerasa orang tua lebih “berpengalaman”
Masalahnya, ini jadi konflik ketika lo punya pendapat yang beda. Dan setiap lo bersuara, jawabannya adalah, “Tapi Mama aku bilang…”
2. Dampak Psikologis Saat Gak Diprioritaskan
Lo bisa keliatan cool di luar, tapi dalam hati? Runtuh. Kalau terus-menerus tidak diprioritaskan dalam hubungan, lo bisa:
- Meragukan harga diri lo sendiri
- Ngerasa selalu nomor dua
- Muncul rasa capek emosional
- Malah mikir buat mundur dari hubungan
Padahal lo cuma pengen didengerin. Lo pengen pendapat lo dianggap sama pentingnya.
3. Bedakan Mana Hormat, Mana Gak Mandiri
Hormati orang tua? Of course. Tapi kalo semua keputusan diambil berdasarkan suara orang tua dan pasangan lo gak punya opini sendiri? Itu udah red flag.
Pasangan lebih dengar orang tua boleh aja dalam hal prinsip. Tapi gak semua hal harus disetir keluarga. Apalagi kalo itu urusan rumah tangga, keuangan, gaya hidup, bahkan soal lo.
4. Komunikasi: Kunci Pertama yang Wajib Diunlock
Lo harus ngomong. Jangan berharap pasangan lo baca pikiran. Tapi cara ngomongnya juga harus bener. Jangan nyerang orang tuanya, tapi fokus ke perasaan lo.
Contoh:
- “Aku ngerasa kayak pendapatku gak berarti.”
- “Aku pengen kita diskusi dulu sebelum kamu langsung setuju sama saran keluargamu.”
- “Aku pengen punya suara juga di hubungan ini.”
Tujuannya bukan buat bikin dia lawan keluarganya, tapi buat bangun ruang aman di antara kalian berdua.
5. Ajak Pasangan Liat Realitanya
Kadang orang gak sadar kalau udah terlalu nurut sama keluarganya. Tugas lo adalah bantu dia ngeliat situasi secara objektif.
Coba minta dia jawab pertanyaan ini:
- “Kalau kondisinya dibalik, kamu nyaman gak?”
- “Kita udah dewasa, apa harus semua ikut keputusan orang tua?”
- “Gimana caranya kita bikin keputusan bersama?”
Biar dia mulai mikir bahwa pasangan nurut orang tua secara buta itu gak selalu ideal.
6. Buat Kesepakatan Soal Porsi Keluarga Dalam Hubungan
Ini penting banget. Lo dan pasangan harus punya kesepakatan soal:
- Hal apa aja yang boleh didiskusikan ke keluarga
- Hal apa yang jadi ranah kalian berdua
- Kapan harus bilang “cukup” ke intervensi keluarga
Tanpa ini, lo akan terus ketarik ke sistem lama. Dan pasangan lebih dengar orang tua akan jadi pola toxic yang berulang.
7. Jangan Bersaing Dengan Orang Tuanya
Lo gak akan pernah menang kalau lo merasa harus bersaing dengan mamanya. Karena lo bukan saingan. Lo adalah partnernya. Fokus lo adalah hubungan kalian, bukan perang geng.
Kalau lo mulai merasa kompetitif, lo bakal capek sendiri. Better lo ajak pasangan lo buat jadi “tim” yang bisa navigasi dua dunia: keluarga dan pasangan.
8. Buat Batasan Sehat Tanpa Drama
Misalnya lo gak nyaman setiap detail hubungan diceritain ke orang tua pasangan. Atau lo gak pengen dikomentarin soal cara berpakaian, cara masak, cara nyuci piring.
Sampaikan batasan lo dengan tenang:
- “Aku pengen kita simpen cerita kita buat kita aja.”
- “Boleh gak kalau kita set privacy biar gak semua hal diceritain dulu?”
- “Aku butuh ruang buat jadi diri sendiri tanpa tekanan eksternal.”
Batasan bukan bentuk penolakan, tapi perlindungan untuk hubungan lo.
9. Evaluasi: Apakah Ini Cuma Fase Atau Pola?
Kalau pasangan lebih dengar orang tua sekali dua kali sih masih bisa dimaklumi. Tapi kalau semua keputusan—mulai dari warna cat tembok sampe soal pengasuhan anak—diambil berdasarkan restu ortu? Itu udah jadi pola.
Lo perlu nanya ke diri lo:
- “Apakah gue bisa hidup kayak gini terus?”
- “Apa pasangan gue bersedia berubah?”
- “Apa gue siap punya mertua yang super dominan?”
Jawaban ini penting buat lo tentuin masa depan lo sendiri.
10. Libatkan Profesional Kalau Hubungan Makin Kacau
Kalau komunikasi buntu, bisa banget lo dan pasangan ke konselor. Gak harus nunggu nikah. Banyak pasangan pranikah yang butuh bantuan pihak ketiga buat nyambungin dua kepala yang beda visi.
Kadang ketika lo ngomong, pasangan gak peka. Tapi ketika ada orang ketiga yang netral, baru dia bisa nangkep.
11. Jangan Gadaikan Prinsip Demi Cinta
Cinta tuh penting. Tapi integritas lo lebih penting. Kalau lo terus-menerus ngalah, dan tidak diprioritaskan dalam hubungan, lama-lama lo hilang arah.
Tanya ke diri lo:
- “Apakah gue bisa berkembang dalam hubungan ini?”
- “Apakah suara gue cukup penting?”
- “Apakah gue dianggap sebagai partner sejajar?”
Kalau jawabannya enggak, lo harus mulai pikirin ulang prioritas lo.
12. Punya Komunitas yang Supportif
Kadang lo ngerasa gila karena orang sekitar lo bilang “itu biasa”. Tapi enggak, gak semua hal bisa dimaklumi. Punya support system—teman, saudara, mentor—itu penting buat jaga kewarasan lo.
Cerita ke orang yang bisa ngerti situasi lo, bukan yang ngegas lo buat nurut aja demi damai.
13. Tegas Itu Bukan Berarti Kasar
Kalau lo udah ngomong baik-baik dan tetap gak berubah, lo berhak bersikap tegas. Tegas itu bukan berantem, bukan kasar, tapi konsisten sama batas dan nilai lo.
Kalimat seperti:
- “Aku akan ambil waktu dulu buat mikirin ini”
- “Aku gak nyaman dengan keputusan yang gak kita bahas bareng”
- “Kalau kamu gak bisa hargai suara aku, aku perlu waktu untuk refleksi”
Itu semua sah. Valid. Dan perlu.
14. Jangan Buru-Buru Nikah Kalau Pola Ini Belum Beres
Serius. Jangan pikir nikah bisa bikin semuanya lebih mudah. Kalau sebelum nikah aja pasangan lebih dengar orang tua dalam segala hal, setelah nikah bisa lebih parah.
Pernikahan bukan akhir cerita, tapi awal perjuangan. Dan lo berhak punya partner yang bisa berdiri bareng lo, bukan bersembunyi di balik rok ibunya terus-menerus.
15. Lo Juga Punya Hak Untuk Didengar
Lo bukan pelengkap penderita. Lo bukan “opsi kedua setelah Mama”. Lo partner hidupnya. Lo setara. Kalau hubungan lo sehat, pasangan lo harusnya:
- Dengerin pendapat lo
- Diskusiin segala hal bareng
- Berani beda pendapat sama keluarga demi kebenaran
Kalau enggak, lo harus berani ambil jarak buat mikir lebih jernih.
FAQ: Ketika Pasangan Lebih Dengar Orang Tua Daripada Kamu
1. Normal gak sih kalau pasangan lebih nurut ortunya?
Wajar, selama masih dalam konteks hormat. Tapi kalau semua hal dituruti tanpa diskusi, itu udah gak sehat.
2. Gimana cara ngomongin ini tanpa bikin pasangan tersinggung?
Fokus ke perasaan lo, bukan nyerang orang tuanya. Gunakan kalimat “aku ngerasa” bukan “kamu selalu”.
3. Apa hubungan kayak gini masih bisa diselamatkan?
Bisa, kalau pasangan lo mau diajak kerja sama dan sadar bahwa hubungan itu harus ada keseimbangan.
4. Apa gue jahat kalau mikir buat ninggalin dia?
Enggak. Lo punya hak buat memilih hubungan yang bikin lo tumbuh dan dihargai.
5. Gimana kalau pasangan malah bilang lo egois karena gak nurut keluarganya?
Itu tandanya dia belum bisa bedain mana keluarga dan mana pasangan. Itu warning sign serius.
6. Apa harus nikah kalau ortu udah oke tapi gue masih ragu?
Jangan nikah karena tekanan. Nikah karena kesiapan. Kalau lo ragu, ikutin intuisi lo.
Kalau lo ada di hubungan dimana pasangan lebih dengar orang tua daripada suara lo, lo bukan orang jahat karena ngerasa lelah. Lo manusia. Lo punya batas. Dan lo layak dapet pasangan yang bisa lihat lo sebagai tim sejajar, bukan pelengkap.
Bicara, pasang batas, dan jangan takut buat ambil keputusan buat diri lo sendiri. Lo berhak disayang, didengar, dan dihormati.